Polres Takalar Diduga Abaikan UU Pers: Wartawan Korban Kekerasan Terancam Tak Mendapat Keadilan!  

News44 Dilihat

TAKALAR/KABAR21– Kasus dugaan kekerasan yang menimpa Wahid Daeng Rani, seorang wartawan Media Armada, saat meliput proyek di Takalar, kini menjadi sorotan tajam. Penyebabnya? Penanganan kasus oleh penyidik Polres Takalar dinilai tidak profesional dan berpotensi melanggar Undang-Undang Pers. Publik pun bertanya: apakah keadilan bagi jurnalis di Takalar hanya isapan jempol belaka?

Insiden bermula ketika Wahid Daeng Rani menjalankan tugas jurnalistiknya pada Minggu, 28 September 2025, di Lingkungan Tana-Tana, Kelurahan Canrego. Saat meliput proyek pengerukan saluran air, motornya ditabrak oleh kendaraan milik Arif Daeng Jowa. Ironisnya, saat melaporkan kejadian ini ke Polres Takalar, Wahid justru dihadapkan pada syarat yang janggal: sertifikasi wartawan dari Dewan Pers.

Penyidik Polres Takalar, IPDA Syarifuddin, bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa penerapan UU Pers dalam kasus ini mensyaratkan sertifikasi wartawan. Pernyataan ini sontak menuai kecaman. Pasalnya, UU Pers jelas menyatakan bahwa wartawan berhak mendapat perlindungan hukum tanpa syarat administratif dari Dewan Pers.

“Kalau mau diterapkan, harus dilengkapi sertifikasinya,” ujar IPDA Syarifuddin, yang dikutip melalui sambungan telepon WhatsApp.

Pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyatakan bahwa wartawan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Legalitas seorang wartawan dibuktikan dengan surat tugas, kartu pers, dan pengesahan dari redaksi media tempat ia bekerja, bukan sertifikasi dari Dewan Pers!

Dewan Pers sendiri memiliki kewenangan yang jelas, yaitu verifikasi perusahaan pers, penyelesaian sengketa pemberitaan, dan penegakan kode etik jurnalistik. Hal ini dipertegas dalam MoU antara Dewan Pers dan Polri. Koordinasi antara kedua lembaga hanya dilakukan jika perkara menyangkut produk jurnalistik atau sengketa pemberitaan, bukan pidana umum seperti kasus yang dialami Wahid Daeng Rani.

Kasus Wahid Daeng Rani ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Takalar. Jika aparat penegak hukum saja tidak memahami UU Pers, bagaimana wartawan bisa menjalankan tugasnya dengan aman dan nyaman? Publik menuntut Kapolres Takalar untuk bertindak tegas dan memastikan kasus ini ditangani secara profesional dan transparan. Jangan sampai keadilan untuk wartawan mati di tangan oknum aparat!